Kamis, 11 Agustus 2016

Puisi "Bocah Polos"

Bocah Polos

Sekilas aku tertarik dengan kertas bungkus tempe
Ada tulisan “Tugas Puisi” pada ujung atas kertas itu
Bentuk hurufnya belum teratur diukir dengan pensil
Kubaca larik demi larik:
            Bapakku pulang bawa botol
            Ibuku marah-marah
            Aku sering dengar kata cerai
            Bu Guru, cerai itu apa sih?
            Setiap ibu bilang cerai, bapak banting piring
            Apa cerai itu pecah?
            Bapakku pergi lagi
            Ibuku menangis
            Ibuku bilang aku gak boleh seperti bapak
            Aku disuruh jadi orang baik
            Apa bapakku tidak baik?
            Kan dia ngasih aku uang jajan
Andai aku jadi Bu Guru, entah jawaban apa yang kulontarkan
Sabarlah, nak...
Kelak kau akan tahu arti itu semua

Puisi "Balada Abrakadabra"

Balada Abrakadabra

Sepasang kaki tanpa alas melangkah gontai
Masing-masing jemarinya mempunyai cerita
Cerita yang tak pernah terdengar rembulan di saat malam
tak terlihat matahari di kala siang

Asa tersimpan di sebuah laci sempit, gelap dan pengap
Sarang laba-laba perlahan melilit harapan
yang selama ini ia maktubkan pada rerimbun seroja

Garis turun sirna, moyang pun tiada
Bak dukun tanpa dupa, empu tanpa mantra
Sesekali angin memainkan gugur daun
Abrakadabra...hampa mengalun

                                                                        Yeri E. Isdhiantara
                                                                        Wisma Bambu, Maret 2016

Cerpen "Kain Sarung di Atas Sampan"

Kain Sarung di Atas Sampan

“Kakek...Nenek...” teriakan cucuku menyambut kedatangan kami.
Sambil menyalamiku, ia bercerita, “Kek, Rio kemarin nonton Tendangan Dari Langit di bioskop.
“Apa itu Tendangan Dari Langit?” tanyaku.
Dengan penuh semangat cucuku Rio menjawab, “ Itu film tentang sepak bola, Kek. Nanti Rio mau jadi pemain sepak bola kayak Irfan Bachdim.”
***
Masa sesudah pensiun sepertiku ini, melihat keceriaan cucu memang menjadi hal yang paling membahagiakan. Anak sekarang, masih kecil sudah mengenal bioskop. Aku jadi teringat masa kecilku. Belum ada gedung bioskop waktu itu, adanya layar tancap.
Pulau Sambu. Ya, dulu sekitar tahun 1954 setiap malam Sabtu dan Minggu selalu ada layar tancap di sana. Bersama teman-temanku dengan menggunakan sampan, kami beramai-ramai pergi ke Sambu dari tempat tinggal kami, Belakang Padang.
Minyak goreng bekas telah mengkilapkan rambut kami. Baju yang kami pakai, semalaman telah kami taruh di bawah kasur biar tak kusut. Sandal jepit pun khusus kami pakai saat ada acara tertentu. Seperti itulah penampilan kami, anak pulau yang rata-rata anak nelayan.
Di Sambu, kami akan bertemu dengan anak-anak karyawan perusahaan minyak. Aku masih ingat nama perusahaan itu, Royal Dutch Shell. Saat itu jangankan tahu artinya, mengejanya saja aku kesulitan. Anak-anak di sana semuanya berpenampilan rapi. Rambut mereka wangi, tidak berbau minyak bekas menggoreng ikan seperti kami. Baju mereka pun digosok rapi. Namun, semua itu tidak membuat kami minder, apalagi mereka ramah terhadap kami.
Dalam kesederhanaan, kami tetap memiliki kebahagiaan. Setiap air laut pasang, kami bergegas untuk berenang. Belum banyak sampah waktu itu. Air laut benar-benar jernih, ikan-ikan pun masih banyak.
Setelah puas berenang, sambil bercanda di bawah pohon kelapa, kami menikmati ubi rebus hasil tanam emak kami di kebun belakang rumah. Di antara kami, aku yang paling jago memanjat, jadi teman-teman selalu menyuruhku memetik kelapa untuk kami minum airnya bersama-sama.
Semilir angin terkadang membuat kami malas untuk segera pulang. Tak jarang hingga emak atau bapak kami menjemput. Hutan yang perawan membuat udara masih terasa segar. Berbagai macam burung masih kami temui. Burung elang dan rajawali terbang ke sana kemari. Mereka pasti merasa bebas, tiada rasa takut akan ditembak oleh para pemburu. Pernah terbesit hal di benakku, aku ingin seperti burung-burung itu. Terbang bebas mengitari angkasa menikmati setiap sudut keindahan bumi ini.
***
Hal lain yang membuat aku dan keluargaku senang adalah ketika kami mendapat beras jatah dari pemerintah. Terkadang aku diajak bapak ke Pulau Buluh untuk mengambil beras itu. Saat itu Batam masih berkedudukan sebagai kecamatan yang beribukota di Pulau Buluh, baru pada tahun 1959 berpindah ke Belakang Padang. Perjalanan beberapa jam ke Pulau Buluh dengan menggunakan sampan membuatku tidak sabar untuk segera sampai rumah dan menunggu emak menanak nasi. Saat itu kami mendapat beberapa kilo beras untuk satu bulan. Tentu saja jauh dari cukup, maka bapak dan emak menanam ubi di kebun belakang rumah untuk makan kami sehari-hari jika beras telah habis. Jadi, ketika emak menanak nasi itulah hari bahagiaku.
Bapak selalu berpesan kepadaku untuk selalu mensyukuri apa yang telah didapat hari ini. Apapun makanan yang kita miliki, itulah yang harus kita makan. Saat itu aku hanya bisa mengangguk. Aku belum begitu memahami seperti apa susahnya hidup.
***
Malam itu, asap lampu teplok menemaniku belajar. Kudengar bapak mengobrol dengan emak di bangku depan rumah. Mereka berasal dari Jawa, jadi sering memakai bahasa Jawa. Walau aku lahir di Belakang Padang, aku paham bahasa Jawa, namun tidak bisa untuk mengucapkan. Besok pagi bapak berencana pergi ke Jodoh untuk membeli kain sarung buatku karena nanti saat liburan sekolah aku akan disunat. Uang hasil bapak menangkap ikan beberapa hari telah cukup untuk membeli sebuah kain sarung.
Keesokan harinya, bersamaan aku berangkat sekolah, bapak berangkat juga ke Jodoh. Aku ingin ikut, namun hari itu aku harus sekolah. Biasanya kalau bapak ada keperluan ke Jodoh saat hari libur, aku selalu ikut. Perjalanan ke sana memakai sampan. Belum ada kendaraan darat. Bahkan jalan darat pun tidak bisa dilalui ketika musim hujan. Aku pernah terbayang di sini ada jalan mulus, ada kendaraan seperti yang kulihat di film layar tancap dan beberapa kendaraan milik  perusahaan di Sambu.
Di kelas, ingin rasanya aku cepat pulang untuk melihat sarung baruku. Lamunanku menebak warna sarung terpotong karena panggilan guruku, Pak Sayuti namanya. Beliau keturunan melayu asli sehingga logat melayunya sangat kental. Aku masih ingat kisah-kisah yang sering beliau ceritakan. Kisah tentang pertarungan Awang Sandang dengan Panglima Sampit saat memperebutkan Putri Mayang; cerita tentang Wak Keling dan Mak Jidah dengan Kampung Panau; hingga cerita tentang pusaka Pancungan Jenawi milik Raja Isa dari Penyengat.
Setiap kali Pak Sayuti selesai bercerita pasti beliau memberikan wejangan-wejangan kepada kami untuk selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Hingga saat ini aku masih terkesan dengan beliau. Kebiasaan beliau yang paling kuingat ialah ketika ia duduk sambil menarik celana cutbray yang dikenakannya lalu mengambil sisir yang diselipkan di kaos kaki.
***
Beberapa tahun kemudian aku harus melanjutkan sekolah di Tanjung Pinang. Hanya sebulan sekali aku pulang ke Belakang Padang karena perjalanan dari sana sangat lama. Sarung pemberian bapak menjadi saksi ketika aku menangis merindukan kedua orangtuaku. Perjalanan Tanjung Pinang ke Belakang Padang saja butuh berjam-jam, apalagi jika aku pergi ke kampung nenek moyangku di Boyolali, Jawa Tengah, tak terbayangkan berapa lamanya. Untuk kesekian kali aku terbayang film layar tancap, jika ada pesawat seperti di film itu pasti perjalanan bak selemparan batu saja.
Setelah sekolah di Tanjung Pinang aku baru tahu seperti apa Pulau Penyengat. Selama ini aku hanya mendengar cerita Pak Sayuti. Di sana aku sempat melaksanakan ibadah di masjid raya Sultan Riau dan ziarah ke makam Engku Putri Raja Hamidah serta raja-raja lain.
Sepulang sekolah, aku membantu mencuci piring di sebuah warung makan milik orang Tionghoa, kami memanggilnya Ko Aseng. Aku diberi upah makan siang dan sebungkus nasi untuk makan malam. Aku mulai paham, jika manusia mau berbuat maka Tuhan tidak akan membiarkannya kelaparan. Keadaan seperti itu kunikmati hingga aku lulus.
***
Setelah kelulusanku, aku sering membantu emak menanam ubi. Terkadang ikut bapak mencari ikan di laut. Suatu hari bapak memandangku lain. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin bapak tidak ingin diriku terus ikut mencari ikan. Pasti sebagai orangtua, bapak ingin kehidupanku lebih baik daripada saat ini.
Hingga suatu hari bapak mengajakku pergi ke rumah Pak Hamdan, salah satu karyawan Pertamina di Sambu. Aku tahu, bapak kenal dengan Pak Hamdan karena beliau sering memesan ikan pada bapak. Bapak menanyakan apakah ada lowongan pekerjaan untukku. Pak Hamdan memberi informasi bahwa bulan depan ada penerimaan karyawan Pertamina di Sambu. Aku disuruh menyiapkan berkas lamaran. Memang, setelah operasi Dwikora tahun 1965, kilang minyak yang awalnya dikelolaShell Company berubah menjadi Pertamina dan diambil langsung oleh pemerintah.
Saat penerimaan dibuka, segera aku antar lamaranku. Tidak lupa aku meminta doa restu dari emak dan bapak. Tidak begitu banyak pendaftar yang kulihat. Satu minggu lagi baru akan ada pengumuman hasil seleksinya. Saat itu aku sadar, diterima atau tidak telah menjadi ketentuan Yang Mahakuasa, yang penting usaha telah kulakukan, doa pun telah kulantunkan.
***
Tiba saatnya hari yang kutunggu. Di sebuah papan kayu telah ditempel beberapa kertas. Kucari namaku dari atas ke bawah.
11. SOEKARJO (Diterima)
Melihat tulisan itu, aku segera bergegas pulang untuk mengabarkan kepada bapak dan emak bahwa aku diterima kerja. Betapa bahagianya mereka. Mungkin itulah pertama kali kulihat senyum kebahagiaan yang luar biasa pada diri mereka.
Kabar aku diterima bekerja menyebar ke telinga tetangga. Mereka saling memberi tahu bahwa Karjo, anak Pak Soewito diterima di Pertamina. Mereka turut senang mendengar kabar itu. Termasuk teman-teman bermainku dari kecil, mereka datang ke rumahku.
Tahun 1970, peristiwa itulah menjadi awal perubahan dalam kehidupan kami. Gaji pertama kugunakan untuk membelikan bapak sebuah sarung serta beberapa kain untuk emak. Itulah pertama kali aku bisa memberikan sesuatu untuk kedua orangtuaku, dua insan yang telah merawat dan mendidikku hingga aku menjadi seperti sekarang ini.
Tidak lupa akupun berkunjung ke rumah Pak Sayuti dengan membawa sebuah bingkisan. Rumah beliau berada di belakang Gedung Nasional. Saat aku ke sana beliau sedang dalam keadaan sakit. Hari itu menjadi pertemuan terakhirku dengan Pak Sayuti karena dua tahun kemudian beliau dipanggail Sang Khalik saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Otorita Batam.
Boleh dibilang tahun itu juga menjadi awal perkembangan Batam sebab Pertamina ditunjuk Presiden Soeharto untuk mendirikan basis operasi dan logistik di Batam yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo selaku Dirut Pertamina kala itu. Itulah awal pengembangan Pulau Batam yang sekarang menjadi tempat tinggal anak cucuku. Kalau aku memang sudah merasa nyaman tinggal di tempat kelahiranku, Belakang Padang. Mungkin sampai ajal menjemputku. Aku ingin dikubur berdekatan dengan makam bapak dan emak, orang yang paling berjasa dalam hidupku. Semoga keduanya dimasukkan ke dalam Surga-Nya.
Saat itu minyak bumi memang menjadi primadona pasar dunia. Ekploitasi minyak lepas pantai di Sambu tergolong strategis sebab sangat dekat dengan Singapura. Namun sekitar tahun 1976 terjadi krisis di Pertamina, maka berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 60/M/76 kepemimpinan Pulau Batam dialihkan kepada Menteri Penertiban Aparatur Pembangunan yang pada waktu itu dijabat oleh JB. Sumarlin. Pada saat kepemimpinan beliau ini dikenal dengan periode Konsolidasi. Pembangunan di Batam pada saat itu tidak mengalami perkembangan, karena minyak bumi saat itu tidak lagi bisa diandalkan.
Hingga pada Tahun 1978, Presiden Soeharto menugaskan BJ. Habibie memimpin perencanaan dan pengelolaan Batam. Periode Kepemimpinan Habibie ini berlangsung sampai dengan tahun 1998 dikenal dengan Periode Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal.
Perkembangan pembangunan di segala bidang selalu kuikuti. Dari bidang infrastuktur, ekonomi, hingga bidang lainnya. Dari awal terbentuknya Otorita Batam hingga berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kini di masa sesudah pensiun ini, aku merasa keinginanku dulu untuk bebas seperti burung elang dan rajawali tercapai. Aku merasa bebas karena lega kini anak cucuku telah hidup bahagia. Tidak pernah mengalami penderitaan seperti aku dan orangtuaku dulu. Mungkin itu salah satu bagian sudut keindahan bumi yang bisa kunikmati.
Seperti bapak dulu, aku pun berpesan kepada anak-anakku untuk selalu bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, karena kunci kebahagiaan adalah adanya rasa syukur.
Bayanganku tentang Batam  akan menjadi seperti yang di film layar tancap pun terwujud. Bahkan lebih dari yang kubayangkan. Jalan beraspal yang mulus, fasilitas bandara dan pelabuhan yang megah, sandang pangan cukup, industri menyebar di setiap sudut. Bahkan Batam berkontribusi besar dalam perekonomian nasional. Salah satu hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa akan ada jembatan Tengku Fisabilillah, jembatan yang tegak dan kokoh penyambung beberapa pulau, bahkan menjadi ikon kota Batam. Semua ini tentu berkat jasa-jasa pejuang dan pendiri dahulu. Namun, pembangunan tetap harus dilanjutkan. Semua lapisan masyarakat harus mau berpikir untuk kemajuan Batam.
Di usiaku yang senja ini, aku  berharap generasi muda harus lebih bersemangat berkarya. Setiap insan yang berguna harus mau berkarya, sebab jika tidak maka ia hanya akan meninggalkan sebuah nisan yang tertulis siapa dia, kapan lahir, dan kapan mati.  Teruslah berkarya rajawali-rajawali muda, terbanglah tinggi menggapai bintang kesejahteraan untuk kota tercinta, Batam.
***
“Kakek dan nenek nginap sini kan?” cucuku mengagetkanku, membuatku tersadar dari lamunan tentang masa lalu.
“Iya, kakek dan nenek nginap, tapi besok Rio gantian nginap di Belakang Padang ya?”
“Siap, Kek,” jawabnya singkat sambil menendang bola ke ujung gang depan rumah.

TAMAT